22 Februari 2008

kita, terbang.

Arti rasa yang pernah kita cecap tak akan pernah pudar,
Rengkuh kalbu yang pernah kita toreh selalu terpendar.

Senyap yang berganti tawa,
Tangis yang berganti riang,
dan sendu yang selalu terusap dengan hati manis.

Kita.
dengan segala apa yang dunia beri,
akan selalu ada kita.
sejati kawan yang tak akan melepas genggam sempurna.

Teriak kencang,
Menangis luruh,
Bersorak riang.

Hanya kita, kawan!!
Tunjuk bintang,
Bungkus dengan kotak bulan,
Lapisi dengan pita merah milik kita!

Raih jemariku,
Dan kurengkuh pundakmu.

Hanya kita, kawan!!
Berlari mengejar badai kerlip cahaya.
Menari mengiringi topan bunga.
Bernyanyi melampaui titik nada.

Kita tahu,
kotak bulan itu akan selalu milik kita
dan pita merahnya akan selalu menjadi petunjuk,
Hanya untuk kita, kawan!!


*rasa syukur atas segala marah, paksaan, nasehat buruk (dan baik), senyum tulus (dan terpaksa), dan genggam tangan (kita). Langkah kaki kita akan menapak dengan rasa setinggi surga”

21 Februari 2008

meminta, percaya, menunggu (sushi)

Menyukai itu seperti minum ocha dingin saat buka puasa.
Adem dan menyegarkan.

Memusuhi itu seperti saat kita kekeringan dahaga,
Air tak ada dimana-mana.
Panas dan menyebalkan.

Merindu itu seperti ingin makan sushi tapi dompet tipis tak ada kredit.
Jadi jari digigit,
dan liur pun berlomba membanjir.

Merasa cemburu itu seperti sudah makan sushi dan ternyata pesanan orang lain.
Dan kita hampir-hampir merasa kehilangan sushi itu.
Padahal sushinya sudah dimakan separuh.

Merasa sedih itu seperti sudah makan separuh dan ternyata sushinya tetap diambil pelayan karena,
Pesanan orang lain.

Lalu mencintai?
Mencintai itu seperti sudah makan sushi, dan ternyata pesananan orang lain,
Dan ocha pesanan juga terlambat datang,
Namun, kita tetap menunggu sushi pesanan datang karena,
Kita telah memesan dan hanya menunggu.

*masak sihhhh.....*

Pak Lliard bikin bingung

(Obrolan dengan teman dekat tapi gak dekat....)

Suatu waktu ada yang bilang, menurut Baulliard “ media membuat realitas menjadi tidak obyektif, segala sesuatu menjadi tidak otentik.”

Lah, kok bisa? Media apa dulu nie?

Ya,menurut pak Lliard seh media apa saja, majalah remaja, majalah dewasa, majalah tanaman, koran kriminal, televisi, opo wae lah, getooo...ndeso men seh gak ngerti.

Lah, ikut ngubrul-ngubrul gini dengan sampeyan ya baru ini kok. Njelehi men tho!

Piye, jadi gak nie tak ceramahi? Jadi yo, mumpung aku lagi panas ni.

(dididik sebagai priyayi jawa yang pantang untuk menolak seseorang yang memelas) yo wes...tak ngrungok’ke...

begini lho jeng... kita ini gak ada yang otentik, semua bentukan dari media.
Coba bayangkan ya, dari kecil kita sudah dijejali beragam media yang mengatur bahwa seseorang dikata cantik kalo begini begitu...

Contohnya piye jeng? Yen ceramah ki seng jelas...

Ya contohnya...kamu kan dari kecil udah tahu mana yang cantik mana yang gak dari mana tho?

Dari mataku sendiri tho...lha po dari matamu? Khekekekeke

Ngawur!!
Dari yang terdekat, ibumu.... pendapat ibu bisa dibentuk dari media yang menggembar gemborkan bahwa cantik adalah yang “putih, tinggi, langsing, dll”. Diinget-inget tho...pas kecil kan mesthi kamu dikasih tunjuk...”cantik ya mbaknya...bersih kulitnya terus cantik ya soalna bla bla bla....” hayah!!

Bener juga... (sambil manggut-manggut sepertinya mikir tapi ya cuma basa-basi)

Kamu tidak akan lepas dari media sepanjang hidupmu...
Mbok yo arep menyepi pun, kamu tidak bisa lepas dari efek media yang pernah kamu baca.
Ini tidak hanya fashion. Hampir semua pendapat terlampir dengan jelas di media. Pagi-pagi kita baca koran, isinya kan ya itu pendapat tho, pendapat jurnalisnya, pendapat yang ngomong, lah terus obyektifnya dimana?

Ya dimana ya? Sek sek...ya obyektif dong, wong semua dipampang disitu, baik yang pendapatnya sok pinter atau yang pendapatnya disertai penelitian yang valid. Iyo ra? (mulai gak basa-basi)

Bener, bener... media mempengaruhi cara kita berpikir. Itu bagus, memberikan kita pencerahan jeng, memberikan kita sudut pandang lain, nah itu yang dibilang Baulliard “media membuat realitas menjadi tidak obyektif, segala sesuatu menjadi tidak otentik.”

Piye tho kui? Ra mudeng.

Jadi secara tidak sadar pemikiran kita sudah kurang obyektif dengan kata lain kita sering kali mengambil suatu kesimpulan berdasar dari pendapat “A” terus dari jurnalis “B” yang kemudian kita olah dengan rasa dan pikiran kita, nahhhh terus jadinya seolah-olah itu pendapat kita. Tetapi benernya itu sudah bentukan dari media-media yang kita baca, kita lihat dan kita resapi. Intinya, pemikiran kita ini sebenarnya sudah tidak otentik pemikiran kita sendiri. Otentitas itu sebenarnya tidak ada lagi. Toh kalau mau disebut bahwa hasil penggabungan dari beberapa pendapat dan kita simpulkan dan kita bentuk menjadi pendapat baru, boleh saja itu disebut obyektif dan otentik tetapi sudah tidak lagi utuh, bunder dan bulet.

Tapi tho jeng, itu juga bagus tho. Jadi media membantu kita untuk memahami dengan lebih luas, iya tho?

Lah iya...itu bener banget. Masalahnya bukan media itu bagus atau tidak. Hanya saja perlu disadari bahwa obyektifitas itu makin susah dicari dan otentitas semakin tidak original lagi.

Nah, terus obrolan tidak jelas kita ini obyektif atau tidak? Otentik atau tidak? (cerdas! seneng saya punya temen cerdas)


Yaaa jelassssss tidak!! Wong jelas-jelas kita mengobrol menggunakan pakemnya Baulliard.

Oh, bener-bener...sampeyan cerdas jeng.

14 Februari 2008

Me versus "Me"

Today, yups today,,,it is raining all d time since yesterday. Gezzzzzzzz,,,I feel so bored when I woke this morning. Njizzzzzzz,,still wanted to sleep, sleep and sleep but have to work.
Then, here I come, sitting in my room, in front of laptop and starting to write all this crap.

Should I go or Should I stay?
That question keeps ringing in my mind. What if your heart says different with your thought? Which one u should pick then?
Should I go or Should I stay? Bloodyyyy hard to choose.

Perhaps some of you already know the reason why I came up with that question. For the rest who don’t know,,,please bear in my mind not to ask anything excapt reading this crap.

Should I go?
I prefer to go because there is nothing left. Perhaps it is still something left but i feel like it useless to keep anymore. If I go, would I be happy? If I go, would I be strong enough to leave all things behind? I would answer this question with I don’t have no idea.

Should I stay?
I choose to stay because I deserve a second chance. In what purpose? To be happy!. Definitely I could answer it. I want to be happy. It has been a while for me for not feeling the freedom to be happy. Well, there is an obstacle. If I choose to stay it means,,,I have to fight like “joan of arc” and I’ve got to win. The only option is I have to win this battle (if I could say this is a battle).

Between the sorrow and the willingness to be happy, it is hardly to choose.
Every option will be leaving consequences.

Should I go?
The only consequences is I will loose the best thing and perhaps,,,just perhaps,,,I will get another. Am I ready to loose the best thing?

Should I stay?
The situation will be so pathetic but yups, I will get the best thing that I really really want,,, Am I ready to fight?

Which one that I will choose?
With vodka in my right hand and accompanied by my very best friend,,, I will make up my mind and choose between should I stay or should I go. Wish me luck,,,and I hope just hope that I could choose the right one.

08 Februari 2008

ucapkan saja

kerongkongan ini kering,
karena berteriak terlalu sering,

hati ini penuh,
namun hanya terisi lagu yang berserak dan tak utuh,

jemari ini lemas,
hanya untuk menulis tentang rasa yang telah teremas,

apapun itu,
teriakan itu hanya satu kata "rindu",
lagu itu hanya satu bait "tentang rasa",
tulisan itu hanya satu makna "sayang".

jika bisa ada ungkapan merangkum semua duri ini,
yang sontak menusuk dan membuat luluh, lantak dan berderai,
namun membuat hati berwarna merah jambu dan air mata terurai,

maka,
"rindu", "tentang rasa" dan "sayang" tak lagi tercerai,
seperti padan kata yang tak saling memiliki,

namun,
melekat seperti pasang nafsu yang tak lagi sendu,

hingga,
teriakan ini,
lagu ini,
dan tulisan ini, hanya akan menekan pada lirih tentang "cinta yang kini".

*say it,

07 Februari 2008

perfectly enchanted

Not morning nor evening,
Not things nor meetings.
Not giving nor wanting.
Not keeping nor resting.

Quote in love is not enough.
Words in care is not good enough.
Greetings is not warm enough.
Just showing with heart is enough.

menarilah

Bisik angin melembut dengan jemari,
Menyentuh halus menyisir epidermis,
Lekukan ujung jari menekan dengan ritmis.

Meraba pelan,
Mengucap tenang,
Mengecup ringan,

Mata tak cukup tertutup,
Bibir tak cukup menutup,
Hati tak cukup berkuncup,

Bertautan,
Beriakan,
Bertatapan.

Ucapkanlah,
Peluklah,
Berujarlah dan lantanglah.

Hanya kita yang tahu,
dan kita yang mau.
karena kita tak lagi ragu.

05 Februari 2008

butterfly,

, has flied already.
With secretly kept as a dirty laundry.
, relieved in perfectly.

Time to spring,
Time to swing,
Time to fling.

sparks in,
not in eyes nor in hands,
dazzle in,
not in lust nor in dash.

In passion,
In admiration,
To whom it has to be in love with.

04 Februari 2008

sapa(nya)

Rasa yang tinggal hanyalah diam,
Membalut nada yang sendirian teredam,
Pelan menguntai kuncup yang belum pasti tenggelam.

Kala itu yang sendiri,
Kala kini yang menyepi.

Jika jerit sanggup berseru sendiri,
Perlukah rintih menjadi abadi?

*ini ada karena itu terjadi.